fk.umsida.ac.id – Pendidikan kedokteran di Indonesia pada sistem tata kelola dapat membawa perubahan signifikan seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Salah satu perubahan utama yang memantik perhatian publik adalah penempatan kolegium kedokteran di bawah kendali langsung Kementerian Kesehatan, yang sebelumnya merupakan badan independen. Kalangan akademisi, praktisi kesehatan, dan institusi pendidikan menilai bahwa perubahan struktur ini berpotensi menggerus independensi kolegium.
Baca juga: Sukses Raih Gelar Doktor di 2025! Membangun Hukum Kedokteran yang Independen
Kolegium kedokteran selama ini berfungsi sebagai garda terdepan dalam menjaga mutu pendidikan dan kompetensi profesi dokter di Indonesia. Namun dengan perubahan struktur tersebut, kekhawatiran pun mencuat dari kalangan akademisi, praktisi, dan institusi pendidikan.
Independensi kolegium menjadi kunci agar keputusan-keputusan yang diambil berlandaskan pada kebutuhan ilmiah dan profesional, bukan kepentingan politik atau administratif. Ketika otonomi profesi terganggu, maka keputusan strategis terkait standar kompetensi dan pendidikan kedokteran dikhawatirkan akan rentan terhadap intervensi politik dan kepentingan jangka pendek.
Siapa yang Menyuarakan Kekhawatiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023?
Sebanyak 132 dekan dari Fakultas Kedokteran di seluruh Indonesia yang meliputi 51 dari perguruan tinggi negeri dan 81 dari perguruan tinggi swasta, turut menyampaikan kekhawatiran mereka terhadap potensi berkurangnya independensi kolegium.
Menanggapi hal ini, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) mengungkapkan niat untuk mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto guna meminta peninjauan ulang terhadap kebijakan yang dinilai berisiko tersebut.
Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya dunia akademik dalam menjaga kualitas dan integritas pendidikan kedokteran di Indonesia.
Salah satu suara yang tegas dan secara sigap menyampaikan pandangan kritis datang dari Dr. dr. Dzulqarnain Andira, M.H., Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Beliau menyampaikan bahwa kebijakan baru ini berisiko membuka ruang intervensi politik dan konflik kepentingan, terutama dalam penentuan standar kompetensi dan sistem pendidikan profesi dokter.
“Sebagai seorang dokter dan akademisi hukum kesehatan, saya merasa perlu menyuarakan keprihatinan terhadap perubahan tata kelola kolegium kedokteran yang kini berada di bawah Kementerian Kesehatan,” ujar Wakil Dekan lulusan S3 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tersebut.
Keresahan Dr. Dzulqarnain
Sebagai akademisi sekaligus praktisi hukum kesehatan, Dr. Dzulqarnain menyatakan,
“Penempatan kolegium di bawah kendali langsung pemerintah berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan intervensi politik dalam penentuan standar profesi. Hal ini dapat mengancam kualitas pendidikan kedokteran dan, pada akhirnya, mutu layanan kesehatan yang diterima masyarakat.”
Lebih jauh beliau menekankan bahwa independensi kolegium bukan sekadar isu profesi, tetapi menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan nasional. Mengingat bahwa hal ini dapat mengancam kualitas pendidikan kedokteran hingga pada berjalannya mutu layanan kesehatan yang diterima masyarakat.
Mengapa Independensi Itu Penting Pada Pendidikan Kedokteran?
Menurut Dr. Dzulqarnain, kolegium yang independen berfungsi sebagai penyeimbang antara berbagai kepentingan akademik, profesi, dan regulasi negara. Ketika kolegium dikendalikan langsung oleh lembaga eksekutif, maka prinsip checks and balances berisiko melemah.
“Kami percaya bahwa kolaborasi antara institusi pendidikan, organisasi profesi, dan pemerintah harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati peran masing-masing,” ujarnya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam berbagai sistem kesehatan yang mapan, kolegium atau dewan profesi justru diberikan otonomi untuk menetapkan dan menjaga standar secara profesional, bukan berdasarkan kepentingan jangka pendek atau politis.
Kapan dan Bagaimana Solusinya?
ilustrasi : freepick
Revisi kebijakan ini menjadi hal yang mendesak, mengingat dampaknya langsung terhadap sistem pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan. Dr. Dzul dengan tegas mengutarakan upaya penyaluran semangatnya kepada seluruh dokter.
“Sebagai Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, saya mendukung upaya rekan-rekan akademisi dan praktisi kedokteran yang menyerukan pentingnya menjaga independensi kolegium. Kami percaya bahwa kolaborasi antara institusi pendidikan, organisasi profesi, dan pemerintah harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati peran masing-masing,” ujar beliau.
Dr. Dzul juga mengutarakan keterbukaannya serta mendorong adanya dialog terbuka dan konstruktif antara semua pihak.
Baca juga: Ribut-Ribut Kolegium Kedokteran di Bawah Menteri Kesehatan
“Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk membuka ruang dialog yang konstruktif guna mencari solusi terbaik bagi sistem pendidikan dan layanan kesehatan di Indonesia,” tegasnya.
Beliau juga menekankan bahwa suara akademisi dan praktisi bukan bentuk penolakan terhadap regulasi semata, melainkan upaya menjaga integritas profesi dan perlindungan terhadap masyarakat sebagai penerima layanan kesehatan.
Penulis: Kiki Widyasari Hastowo