fk.umsida.ac.id – Kunjungan tokoh filantropi dunia Bill Gates, ke Istana Merdeka bersama Presiden Prabowo Subianto menghasilkan pengumuman penting dalam bidang kesehatan berupa Indonesia dipilih sebagai lokasi uji coba vaksin TBC M72/AS01E.
Vaksin ini diharapkan menjadi solusi baru dalam mengendalikan tuberkulosis, penyakit yang hingga kini masih menjadi tantangan besar dalam sistem kesehatan nasional.
Meskipun demikian, keputusan ini memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat. Sebagian pihak menyuarakan kekhawatiran terkait keamanan dan etika pelaksanaan uji klinis, dengan asumsi bahwa masyarakat Indonesia dijadikan subjek eksperimen. Sejumlah kalangan mempertanyakan keputusan ini, menyebut Indonesia seolah dijadikan “kelinci percobaan.”
Menanggapi hal ini, dr. Rengganis Praswitasari dosen dan penjamin mutu Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, menyampaikan pentingnya melihat uji coba vaksin TBC dari sudut pandang kebutuhan kesehatan masyarakat dan urgensi ilmiah.
“Dengan tingginya prevalensi kasus TB di Indonesia, pengujian vaksin menjadi sangat relevan,” ujar dr. Rengganis.
Beliau menambahkan bahwa Indonesia saat ini merupakan negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia. Oleh karena itu, keterlibatan Indonesia dalam pengembangan vaksin menjadi bagian dari langkah strategis untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Lebih lanjut dr. Rengganis menegaskan bahwa uji coba vaksin dilakukan melalui protokol ilmiah yang ketat, di bawah pengawasan etika medis. Peserta uji klinis memperoleh informasi yang transparan dan memberikan persetujuan tertulis sebelum berpartisipasi, sebagaimana prinsip informed consent dalam dunia kedokteran.
“Penting untuk melakukan komunikasi yang jelas kepada masyarakat mengenai manfaat dan potensi risiko vaksin, agar tidak terjadi kesalahpahaman,” tuturnya.
Sebagai institusi pendidikan, FK Umsida mendorong terwujudnya literasi kesehatan yang lebih baik di tengah masyarakat. Narasi kritis yang berkembang di masyarakat perlu disikapi dengan pendekatan edukatif agar masyarakat memahami bahwa partisipasi Indonesia dalam uji coba ini bukan sekadar sebagai objek, tetapi sebagai mitra aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penanggulangan penyakit menular global.
Mengapa Vaksin TBC Baru Diperlukan?
ilustasi: pexels
Menurut dr. Rengganis Praswitasari, selaku dosen Fakultas Kedokteran menilai bahwa pengujian vaksin TBC di Indonesia perlu dilihat dalam kerangka kebutuhan epidemiologis dan urgensi kesehatan nasional.
“Dengan tingginya prevalensi kasus TB di Indonesia, pengujian vaksin menjadi sangat relevan,” katanya, sambil menekankan bahwa langkah ini bukan semata-mata eksperimen, melainkan bagian dari upaya menjawab persoalan serius dalam dunia kesehatan masyarakat.
Beliau pun mengutip data global yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara dengan beban kasus TBC tertinggi kedua di dunia. Hal tersebut menurutnya, menegaskan urgensi untuk memperkuat strategi pencegahan dan pengendalian penyakit TBC secara sistemik.
Lebih lanjut, dr. Rengganis menjelaskan bahwa meskipun vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) yang telah digunakan sejak tahun 1921 terbukti efektif dalam melindungi bayi dan anak dari bentuk infeksi TBC berat seperti meningitis TB dan TB milier, efektivitasnya tidak mencakup semua kelompok usia.
“Vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) yang diperkenalkan pada tahun 1921 memang efektif dalam melindungi bayi dan anak kecil dari infeksi TB yang parah, seperti meningitis TB dan TB milier,” terangnya.
Namun vaksin BCG memiliki keterbatasan dalam melindungi remaja dan orang dewasa dari TB paru, yang merupakan jenis TB yang paling sering menyebar dan menjadi sumber utama penularan.
“Ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk vaksin yang lebih universal,” ujar dr. Rengganis.
Dalam konteks itulah, vaksin M72/AS01E yang saat ini tengah dikembangkan menjadi harapan baru untuk memperkuat pertahanan terhadap TB. Vaksin ini dirancang untuk mengaktivasi respons imun tubuh secara lebih optimal terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis, khususnya pada kelompok usia dewasa yang lebih rentan terhadap infeksi aktif.
Beliau menambahkan bahwa keberadaan vaksin yang lebih efektif sangat potensial dalam menurunkan beban penyakit TBC, meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, serta menurunkan angka penularan dan kematian akibat TBC secara signifikan.
Bagaimana Soal Efek Samping?
dr. Rengganis menjelaskan bahwa setiap vaksin baru pasti memiliki potensi efek samping. Efek tersebut dapat berupa reaksi lokal seperti kemerahan, nyeri, dan pembengkakan di tempat suntikan, hingga reaksi sistemik seperti demam, nyeri otot, dan kelelahan.
“Penting untuk melakukan komunikasi yang jelas dengan peserta mengenai potensi risiko dan manfaat dari vaksin,” tegasnya. Ia juga menambahkan bahwa seluruh peserta uji klinis akan dipantau secara ketat agar setiap efek samping bisa ditangani dengan cepat dan tepat.
Apa Tantangan dalam Pengembangan Vaksin TBC?
Sebagai dokter pakar parasitologi dan penjamin mutu FK Umsida, dr. Rengganis memaparkan berbagai tantangan dalam pengembangan vaksin TBC:
- Variabilitas strain
Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TBC, terdiri dari berbagai strain dengan perbedaan pada aspek genetik dan patogeniknya.
“Hal ini menyulitkan pembuatan vaksin yang dapat memberikan perlindungan luas terhadap semua variasi,” tuturnya.
- Karakteristik infeksi intraseluler yang kompleks.
- Durasi imunitas dari vaksin yang belum tentu tahan lama.
- Beragamnya target populasi, terutama kelompok dengan sistem imun lemah.
- Ketatnya regulasi dan waktu yang panjang dalam pengujian vaksin.
- Distribusi dan akses, khususnya di wilayah terpencil.
“Pengembangan vaksin memerlukan kerja sama lintas sektor: ilmuwan, pembuat kebijakan, hingga komunitas global,” jelasnya.
Apa Respon terhadap Isu ‘Kelinci Percobaan’?
Terkait anggapan publik tentang “kelinci percobaan,” dr. Rengganis menegaskan bahwa semua tahapan uji coba dilakukan berdasarkan prinsip ilmiah dan etika, termasuk persetujuan dari peserta.
“Kita harus memahami bahwa vaksinasi bukan hanya tentang perlindungan individu, tetapi juga tentang melindungi komunitas secara keseluruhan,” ujarnya. Dengan membangun kekebalan kelompok (herd immunity), masyarakat bisa terlindungi dari penyebaran infeksi secara luas.
Harapan ke Depan
Sebagai dosen FK Umsida yang sedang melanjutkan pendidikan S2 Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Airlangga, dr. Rengganis berharap masyarakat bisa memandang uji vaksin ini sebagai upaya ilmiah yang bertujuan melindungi kesehatan publik. Keterbukaan informasi, edukasi yang tepat, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan program vaksinasi ke depan.