Memasuki musim hujan, Indonesia kembali menghadapi lonjakan kasus flu musiman atau Influeza. Fasilitas kesehatan mulai mencatat peningkatan jumlah pasien dengan keluhan demam, batuk, dan pilek yang khas menyerupai influenza.
Gejala influenza yang sering muncul antara lain demam tinggi, batuk kering atau berdahak, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, dan dalam beberapa kasus bisa disertai sesak napas.
Meskipun demikian, banyak masyarakat masih menyepelekan penyakit ini dengan alasan “hanya flu biasa”, padahal influenza dapat menyebabkan komplikasi serius
Keprihatinan juga muncul karena virus influenza yang beredar tahun ini ternyata sedikit berbeda dari musim sebelumnya.
Kepala Gugus Jaminan Mutu FK UMSIDA sakaligus dokter umum, dr Rengganis Praswitasari menyampaikan, virus influenza tahun ini mengalami perubahan akibat mutasi antigenic drift, yaitu perubahan kecil yang terjadi secara bertahap pada permukaan virus.
“Mutasi ini tidak membuat virus benar-benar baru, tapi cukup untuk membuat sistem kekebalan tubuh kita sedikit kewalahan,” jelas dr Rengganis
Lihat juga: Ajak Ayah Pemeriksaan Kesehatan Gratis dan Mengenal FK Umsida
Meski masih dalam keluarga subtype yang sudah dikenal Perubahan kecil itu melibatkan protein hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) di permukaan virus yang menjadi target utama antibodi.
Akibatnya, tubuh yang sebelumnya sudah memiliki kekebalan dari infeksi atau vaksinasi terdahulu mungkin tidak sepenuhnya terlindungi.
“Itulah sebabnya flu bisa menyerang kita berulang kali setiap tahun,” tambah dr. Rengganis.
Proses Mutasi, Tantangan Medis, dan Kesalahpahaman Antibiotik dalam Menghadapi Virus Influenza
Virus influenza dikenal memiliki dua jalur utama perubahan genetik,: antigenic drift (perubahan kecil secara berkelanjutan) dan Antigenic shift (perubahan besar melalui penggabungan kembali segmen gen dari dua virus berbeda).
Antigenic drift merupakan perubahan kecil dan berkelanjutan yang terjadi akibat “kesalahan penyalinan” saat virus berkembang biak di dalam tubuh manusia.
Sedangkan antigenic shift adalah perubahan besar yang terjadi ketika dua jenis virus influenza berbeda menginfeksi sel yang sama dan bertukar materi genetik, menghasilkan virus baru yang sangat berbeda dan berpotensi memicu pandemi.

Ilustrasi: Pexels
Menurut dr Rengganis dari sisi dunia medis, perubahan genetik virus influenza menjadi tantangan yang tak pernah berhenti. Surveilans genetik harus dilakukan terus-menerus untuk memantau jenis virus yang beredar. Setiap tahun, para ilmuwan bekerja sama dengan lembaga kesehatan dunia untuk memperbarui formula vaksin agar tetap sesuai dengan strain virus yang dominan.
Namun di sisi lain, tantangan terbesar justru datang dari masyarakat. Kesalahpahaman dalam penanganan gejala influenza masih sering terjadi, terutama dalam penggunaan antibiotik. Banyak masyarakat yang menganggap antibiotik bisa mempercepat kesembuhan dari influenza, padahal ini keliru
“Influenza disebabkan oleh virus, sedangkan antibiotik bekerja untuk membunuh bakteri. Jadi, penggunaan antibiotik tidak akan membantu mempercepat penyembuhan flu, bahkan bisa berbahaya,” tegas dr Rengganis
Ia menambahkan, antibiotik hanya diperlukan jika terjadi infeksi bakteri sekunder, seperti pneumonia, sinusitis, atau otitis media. Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai justru dapat meningkatkan risiko resistensi antimikroba, yaitu kondisi ketika bakteri menjadi kebal terhadap obat.
Jika hal ini dibiarkan, penyakit infeksi di masa depan akan semakin sulit diobati. Oleh karena itu, edukasi masyarakat tentang penggunaan obat secara rasional menjadi langkah penting dalam menjaga efektivitas pengobatan di masa mendatang.
Selain itu, tenaga kesehatan juga perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga daya tahan tubuh, menjaga pola makan sehat, berolahraga, serta mempertimbangkan vaksinasi influenza setiap tahun. Vaksinasi terbukti dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dan risiko komplikasi berat.
Kesiapan Tenaga Kesehatan, Fasilitas Pelayanan, dan Pesan Dokter Umum
Lonjakan kasus influenza di musim hujan turut menjadi beban tambahan bagi fasilitas kesehatan. Ketika jumlah pasien meningkat tajam, ruang perawatan dan layanan gawat darurat sering kali penuh.
Gejala influenza yang mirip dengan penyakit saluran pernapasan lain seperti COVID-19 atau pneumonia membuat proses diagnosis menjadi lebih kompleks dan memerlukan kehati-hatian ekstra.
“Dokter perlu memastikan diagnosis dengan cermat. Kadang gejalanya mirip, tapi penyebab dan penanganannya bisa berbeda,” ungkap dr Rengganis
Selain tantangan diagnostik, risiko tenaga medis tertular juga meningkat seiring tingginya jumlah pasien.
Oleh karena itu, protokol kesehatan di fasilitas pelayanan harus dijalankan dengan disiplin, termasuk penggunaan alat pelindung diri, desinfeksi ruangan, dan pengaturan jadwal kerja tenaga kesehatan agar tidak kelelahan.

Ilustrasi: Pexels
Fasilitas kesehatan juga perlu memperkuat kesiapan dalam menghadapi lonjakan pasien, mulai dari ketersediaan obat-obatan, tenaga medis, hingga ruang isolasi. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis harus mendapatkan prioritas penanganan karena lebih mudah mengalami komplikasi berat akibat influenza.
Dari sisi masyarakat, langkah pencegahan tetap menjadi cara terbaik untuk meminimalkan risiko. Dokter mengingatkan agar masyarakat tidak menyepelekan gejala influenza. Jika demam tinggi, batuk, dan nyeri otot tidak kunjung membaik setelah beberapa hari, segera periksakan diri ke layanan kesehatan.
Lihat juga : Diseminasi KILab Umsida 2025, Hadirkan Banyak Karya Laboran
dr Rengganis menyampaikan pesan penting bagi masyarakat, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat juga sangat penting, seperti mencuci tangan secara rutin, menutup mulut saat batuk, menggunakan masker ketika sedang sakit, serta menghindari kontak dekat dengan orang lain yang sedang flu. Istirahat cukup, konsumsi makanan bergizi, dan menjaga hidrasi juga membantu mempercepat pemulihan.
Selain itu, vaksinasi influenza tetap direkomendasikan sebagai salah satu upaya pencegahan yang efektif, terutama bagi kelompok berisiko tinggi.
“Jangan tunggu sakit dulu untuk melindungi diri. Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan,” tutup dr. Rengganis.
Penulis : Isviyatul Haniya











