operasi caesar

Menimbang Kewenangan Operasi Caesar oleh Dokter Umum: Antara Kebutuhan Mendesak dan Standar Profesional

fk.umsida.ac.id – Menanggapi wacana yang sedang menjadi sorotan nasional dari Kementerian Kesehatan, Wakil Dekan FK Umsida, Dr. dr. Dzulqarnain Andira, M.H kembali menyuarakan opini terhadap kebijakan kesehatan nasional yang dinilai berpotensi mengaburkan batas kewenangan profesi medis.

Terbukanya peluang bagi dokter umum untuk dapat melakukan operasi caesar pada wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dikarenakan adanya rencana dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, terhitung hingga saat ini telah menjadi perhatian luas.

Baca juga: Independensi Kolegium Demi Pendidikan Kedokteran 2025, Begini Kata Dosen FK Umsida

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu yang bertempat tinggal di wilayak 3T.

Rencana ini memang dinilai sebagai bentuk respon terhadap ketimpangan distribusi layanan kesehatan. Meski demikian, banyak muncul kekhawatiran dari kalangan profesional medis terkait persoalan dan kepentingan seperti ini yang tidak bisa disederhanakan hanya dari sisi ketersediaan tenaga.

“Meskipun dalam kondisi darurat, tanpa pelatihan dan sertifikasi yang memadai, dapat menimbulkan risiko hukum dan etika yang serius. Hal ini juga dapat membuka celah bagi praktik yang tidak terstandar dan dapat merugikan pasien dan tenaga medis itu sendiri.” ujar tegas dokter yang aktif menyuarakan pentingnya menjaga integritas profesi kedokteran tersebut.

Siapa yang Merespons dan Mengapa Itu Penting

operasi caesar

ilustrasi: freepick

Kebijakan ini menuai reaksi beragam, termasuk dari organisasi profesi seperti Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang menyebut langkah tersebut sebagai “wacana yang menyesatkan”. Reaksi serupa juga datang dari akademisi di lingkungan pendidikan kedokteran.

Salah satu tanggapan reflektif disampaikan oleh Dr. dr. Dzulqarnain yang juga merupakan akademisi di bidang hukum kesehatan. Menurutnya, meskipun memahami urgensi kebijakan ini, pelaksanaannya perlu disertai kehati-hatian. Dalam konteks hukum kesehatan, setiap tindakan medis harus didasarkan pada kompetensi yang diakui secara legal dan etis.

eliau mengingatkan bahwa tindakan medis besar seperti operasi caesar tidak hanya membutuhkan keterampilan klinis, tetapi juga harus mematuhi kerangka hukum, etika, dan standar profesional yang berlaku secara terstruktur dan ketat.

“Tindakan medis seperti operasi caesar bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga menyangkut aspek hukum, etika, dan standar profesional yang ketat,” ujar Dr. Dzulqarnain.

Risiko Apa yang Dikhawatirkan dari Operasi Caesar ini?

Dalam pandangannya, pelibatan dokter umum dalam operasi caesar tanpa pelatihan dan sertifikasi yang memadai akan menimbulkan sejumlah risiko. Risiko pertama adalah implikasi hukum bila terjadi komplikasi medis.

Kedua, kerancuan batas kewenangan profesi, yang berpotensi menurunkan standar pelayanan kesehatan nasional. Ketiga, praktik medis yang tidak terstandar yang bisa berdampak pada keselamatan pasien maupun perlindungan hukum bagi tenaga medis itu sendiri.

“Pendekatan ini berpotensi mengaburkan batas-batas kewenangan antara dokter umum dan spesialis, yang selama ini telah diatur dengan jelas dalam sistem pelayanan kesehatan kita.” tutur dokter lulusan program studi Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tersebut.

Dr. Dzulqarnain menekankan bahwa pengaburan ini tidak hanya berdampak pada aspek legal tetapi juga dapat menurunkan standar pelayanan medis secara keseluruhan, bukan semata pada kondisi darurat.

“Pengaburan batas kewenangan ini dapat berdampak pada aspek legal dan menurunkan mutu layanan secara keseluruhan,” ungkapnya.

Mengapa Isu Ini Perlu Ditangani dengan Cermat?

Situasi layanan kesehatan di daerah 3T memang menuntut solusi cepat dan nyata. Namun menurut Dr. Dzulqarnain, solusi tersebut sebaiknya tidak justru melemahkan sistem yang sudah dibangun dengan dasar profesionalisme dan perlindungan hukum.

Solusi yang Diusulkan oleh Dr. Dzul

Beliau menyarankan bahwa pemerintah sebaiknya bisa lebih berfokus pada kebijakan yang bersifat non-teknis keprofesian, seperti peningkatan distribusi dan insentif bagi tenaga medis spesialis untuk bertugas di daerah 3T. Selain itu juga, pengembangan sistem rujukan yang efisien dan penggunaan teknologi telemedisin dapat menjadi solusi jangka panjang yang lebih aman dan berkelanjutan.

Beliau juga mendorong pemerintah agar mendengarkan suara dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, institusi pendidikan kedokteran, dan masyarakat, dalam merancang kebijakan yang bersifat jangka panjang.

Penulis: Kiki Widyasari Hastowo