pendidikan

Pendidikan, Pengorbanan dan Cita-cita: Perjalanan Panjang di Balik Jas Putih

Fk.umsida.ac.id – Di balik sosok dokter dengan jas putihnya yang tampak gagah dan tenang saat berjalan di lorong rumah sakit, terdapat kisah panjang yang penuh perjuangan, tekanan, dan pelajaran hidup.

Seorang dokter muda sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) dr Erlina K Novitasari M Biomed AIFO-K, menceritakan lika liku perjalanannya memilih dunia kedokteran .

Menghadapi kerasnya proses pendidikan dari awal memilih jurusan hingga menyelesaikan masa koas (pendidikan klinik) yang penuh tantangan.

Lihat juga: Dosen FK Umsida: Tenaga Medis Wajib Jadikan Pancasila Sebagai Pedoman

Keputusan memilih Fakultas Kedokteran bukan semata-mata karena minat yang datang tiba-tiba, melainkan karena impian masa kecil yang tertanam kuat.

“Kalau ditanya kenapa pilih kedokteran, jawabannya agak klise sih. Sejak kecil ditanya mau jadi apa, jawabannya selalu: dokter. Ternyata itu terbawa sampai SMA dan akhirnya saya memutuskan masuk Fakultas Kedokteran. Dan Alhamdulillah, kedua orang tua juga saat itu support,” terang dosen yang biasa disapa dr Lina itu.

Namun seiring berjalannya waktu, alasan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Ia merasakan ada dorongan nurani untuk membantu sesama dan rasa ingin tahu terhadap tubuh manusia.

“Saya penasaran, kok bisa tubuh manusia ini sekompleks itu, seperti mesin biologis yang sangat canggih, yang belum pernah ada sekompleks itu, tapi bisa berjalan sebaik itu tapi bisa bekerja dengan luar biasa,” ujar dr Lina

Sayangnya, ekspektasi sebelum masuk kuliah tidak sepenuhnya sesuai dengan realita. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang berprofesi sebagai tenaga medis, sehingga bayangan tentang dunia medis hanya datang dari tayangan media atau pengalaman menemani keluarga ke rumah sakit.

“Melihat sosok dokter itu keren, tenang, berwibawa, berjalan di koridor dengan jas putihnya,” ungkap dr Lina

Namun, ketika ia benar-benar menjalani pendidikan di fakultas kedokteran, kenyataannya jauh dari bayangan. Ia menyadari bahwa menjadi dokter bukan hanya tentang menyembuhkan penyakit.

Melainkan “Jas putih itu bukan jubah pahlawan, tapi simbol tanggung jawab besar. Kita bukan hanya mengobati, tapi juga mendengarkan curhat pasien, memberi kabar buruk, dan menghadapi kenyataan bahwa tidak semua pasien bisa diselamatkan,” tegasnya.

Seorang dokter harus mendengarkan, memahami penderitaan pasien, menyampaikan kabar buruk, hingga menerima kenyataan bahwa tidak semua pasien bisa diselamatkan. Dalam banyak kasus, tenaga medis harus menghadapi keterbatasan fasilitas, ilmu, bahkan waktu.

Antara Tugas, Kehidupan Pribadi, dan Kesehatan Mental

Pendidikan kedokteran bukan hanya soal belajar teori. Salah satu tantangan terberat adalah menjaga keseimbangan antara belajar, istirahat, dan kehidupan pribadi. Tidak jarang mahasiswa harus mengesampingkan urusan pribadi demi tanggung jawab di rumah sakit.

“Yang namanya keseimbangan itu nggak bisa statis. Kadang harus mendahulukan pasien dibandingkan waktu bersama keluarga. Jadi, kualitas waktu lebih penting dari kuantitas. Kalau cuma ada 2 jam buat ketemu keluarga, ya dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa gangguan,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya support system dalam menjalani pendidikan. Dukungan dari keluarga dan teman sangat berperan dalam menjaga kesehatan mental.

“Kadang kita merasa bersalah karena fokus ke studi dan kurang waktu untuk hal lain. Tapi ya itu bagian dari proses. Yang penting tahu prioritas dan bisa mengelola waktu dengan baik,” tambahnya.

Menurut dr Lina momen paling emosional dalam hidupnya terjadi saat menjalani koas, terutama stase  bedah. Selama 7 hari penuh, ia harus berada di rumah sakit tanpa jeda.

“Selama 7×24 jam, saya nggak boleh sakit. Kalau sekali aja absen, harus ulang lagi setelah siklus selesai. Jadi ya, saya harus sehat fisik dan mental. Tapi rasalelah luar biasa. Pernah juga saya berpikir: bisa nggak ya saya selesaikan ini?” kenangnya.

Dalam kondisi itu, ketangguhan dan empati menjadi kunci. Ia memegang erat nilai-nilai seperti rendah hati, semangat belajar sepanjang hayat, dan kemampuan untuk tetap tangguh meski dalam tekanan.

“Capek secara fisik dan mental, tapi harus tetap fokus. Karena yang kita tangani adalah manusia, nyawa. Nggak boleh ada kesalahan,”ungkapnya

Harapan untuk Pendidikan yang Humanis dan Responsif terhadap Teknologi

Melihat tantangan yang dihadapi mahasiswa kedokteran saat ini, ia memiliki harapan besar terhadap sistem pendidikan di Indonesia.

“Saya berharap pendidikan kedokteran bisa lebih humanis. Tidak hanya fokus pada hafalan teori, tapi juga melatih soft skill, empati, komunikasi, dan tentunya memperhatikan kesehatan mental mahasiswa,” tuturnya

Ia menekankan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang suportif, bukan intimidatif. Selain itu, ia juga berharap sistem pendidikan kedokteran semakin adaptif terhadap perkembangan teknologi.

“Teknologi kedokteran makin canggih, dan kita sebagai calon dokter harus siap. Tapi jangan sampai melupakan sisi manusiawinya. Karena di balik semua alat canggih itu, ada pasien yang perlu didengar dan dipahami,”jelas dr Lina

Lihat juga:Fortama FK Umsida 2025 Bekali Mahasiswa Baru dengan Etika Kedokteran

Ia memberikan pesan yang mendalam kepada mahasiswa kedokteran yang saat ini masih berjuang, “Ingat, ini adalah maraton, bukan sprint. Jangan kehabisan energi di awal. Dan yang paling penting, jangan pernah lupa alasan kalian memilih jalan ini. Kenapa kalian ingin jadi dokter? Saat kalian merasa lelah, pertanyaan itu akan menolong kalian untuk kembali bangkit.

Dan yang paling penting, tetaplah menjadi manusia. Jangan biarkan buku dan teknologi membuat kalian lupa tersenyum.” Pungkas dr Lina

Penulis: Hani